Tuesday 19 December 2017

Dawrah Malaysia Muharram 1439H

Bismillah,



Alhamdulillah. Dawrah kali ini sepertimana yang sudah-sudah, berjalan dengan lancar sekali. Hanyasanya ALLAH ﷻ jua yang layak mengganjari dengan sebanyak-banyaknya kebaikan di atas mujahadahnya barisan panitia dalam menjayakan dawrah ini.


Berikut adalah maklumat asas bagi dawrah tersebut:
Lokasi : Masjid Khan Muhammad, Geogertown, Pulau Pinang
Waktu : Sabtu & Ahad, 23-24 Al-Muharram 1439H ~ 14-15 Oktober 2017M
Pemateri : Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman hafizhahullah
Tajuk : Di Mana Tempat Akhir Kita

 



Mungkin saja orang banyak dapat menduga isi kandungan dawrah tersebut. Tentu sekali tentang targhib wa tarhib (dorongan dan ancaman) dalam menjalani kehidupan di dunia yang seketika ini menuju akhirat yang kekal-abadi. Ya, kenikmatan jannah dan kesengsaraan jahannam yang sudah kerap kita dengar sejak dahulu lagi. Namun bukanlah soal berapa banyak dalilnya, baik yang benar atau sekadar bualan mulut ke mulut turun-temurun yang hendak ditekankan di sini. Hanyasanya persoalannya yang lebih lanjut adalah sejauh mana kesungguhan, kehendak diri untuk memenuhi kriteria agar tercalon sebagai penghuni jannah kelak? Baarakallahu feekum. Adapun hal ini bukanlah mencari titik cacat untuk menuding jari ke depan bahkan terhadap diri sendiri adanya. Dalam memerhati manusia datang dan pergi. Dan dalam menilik diri sesudah itu. 


ILMU FAKTA ATAU INFORMASI AUTA
Demikianlah yakni soalnya hati. Hati ini yang sejauh mana sudah berkira-kira jujur bagi memperbaiki kualiti ilmu sebelum memperbanyakkan kuantiti amal. Ya, kita faham nilai mahalnya biaya pendidikan hari ini. Demikian tercatat di dada sejarah akan mujahadah ulama' terdahulu dalam menuntut ilmu syar'i. Dengan dunia di hujung jari, kita sudah mampu membaca kisah-kisah mereka tanpa perlu merentas daratan dan gelombang lautan waima membelah awan sekalipun. Maka bacalah. Ya jika biaya pendidikan  itu mahal, inikan pula sebuah ketidakpedulian yakni meninggalkan keutamaan ilmu. Bahkan lebih mahal. Tanpa ilmu, terlihatlah sikap kebencian terhadap sesuatu yang di luar pemahaman diri  sendiri. Tanpa ilmu maka terbinalah cinta dan benci di atas dasar fanatisme. Mendengar pada apa yang hendak didengari saja. Ya, melihat juga begitu. Walhasil ketidakpedulian ini digambarkan melalui sikap sombong yakni menolak kebenaran yang datang dan meremehkan manusia yang membawanya. Wallahul mustaan. Adapun pada hari ini, ketidakpedulian tersebut dapat dirasai melalui etika pemberitaan semberono lalu disokong padu oleh narsisis-narsisis semisalnya. Bukankah dari grup sebelah adalah jawapan yang kerap diterima semenjak diajukan pertanyaan sumber pemberitaan-'copy&paste'-nya[1]?


Jadi, seandainya pada setiap 1000 insan itu hanya seorang saja yang layak memasuki jannah, di manakah kita berdiri? Yang seorang atau salah seorang dari 999 itu? Masing-masing boleh menjawab sendiri. Semoga ALLAH ﷻ merahmati orang tahu kadar dirinya. Tahu apa yang ditampakkan pada zhahir dan apa pula yang disembunyikan.. 


KAU KAN TUAI APA YANG KAU TANAM
Melihatkan ahli dunia yang mempamer-pamerkan kereta idaman yang dimiliki melalui hutang ribawi. Lalu dipertontonkan kehidupan peribadi siap bersama kemewahan harta serta fesyen-fesyen tabarruj[2] dan tasyabbuh[3] terkini. Tak hairanlah apabila jatidiri sebagai Muslim yang kagum[4] dengan gaya hidup Yahudi dan Nasrani itu meluntur. Pun begitu, tetap mereka masih meyaqini hal tersebut tak setara dengan nikmatnya jannah yang lebih luas daripada dunia dan seisinya. Malangnya, keyaqinan ini disia-siakan kerana sudah asyik-masyuk dengan buaian janji-janji manis dunia!  Kerakusan, tamak-haloba dan hasad[5] dibangkitkan melalui jalan ditakut-takutkan akan kemiskinan, kurangnya penghasilan, kehilangan manusia sekitar, kebuluran dan pelbagai ujian yang pasti ada kemudahan sesudah itu. Wallahul muwaffiq. Ya, masakan orang yaqin dengan janji-janji ALLAH ﷻ akan tertuang  siang dan malamnya ke atas kerja-kerja dunia, fikir dunia dan muzakarah dunia hatta agama pun diduniakan dalil-dalilnya. Dengan sederet angan-angan, kononnya, melalui kemewahan dunia inilah mereka dapat memperbanyak kuantiti amal.  Dapat bersedekah, berwakaf dan semisal. Seolah-olah agama ini teruntuk buat orang kaya yang dapat dibeli sebanyaknya pahala dengan duit ringgit. Wal'iyadzubillah. Demikian ahli dunia datang dan pergi. Sayang sekali hidup hanya menjadi teladan keji. Di usia senja tampak solat masih lagi sumbang. Di usia senja ini juga baru hendak belajar mengaji (qiraat) sedang pegangan aqidah masih lesu kerana berpaut pada arus bualan semasa. Kasihan, perbualan seharian pun masih mengedepankan pengalaman dan bermegah-megahan dengan tuntunan bangsa penjajah. Apa yang sebenarnya mereka kejarkan dalam hidup ini? Yahdina wa yahdikumullah.



MUSANG BERJANGGUT
Bagaimanapun ada yang lebih ngeri daripada mereka (ahli dunia). Siapa? Kitalah, siapa lagi. Yang berjanggut, berjubah dan berperwatakan agamis ini. Dengan kurang dari setitik ilmu di lautan, kita angkuh merendah-rendahkan manusia jahil seperti ahli dunia tadi. Seolah-olah mereka adalah manusia yang tiada layak dikurniakan hidayah dan taufiq dari ALLAH ﷻ. Di lain masa, kita tampil berpencak di media sosial layaknya seorang syaikh bersenjatakan kacau-bilau maklumat. Kita debati ulama' Rabbani, meremeh-meremehkan orang bodoh dan tampil sebelum masanya. Kononnya kitalah yang terbaik qiraatul Qur'annya, yang paling tekun bersedekah-jariah dan yang terkedepan mempertahankan Islam[6]. Kita terleka, yang terlarang kita lakukan sembunyi-sembunyi kelak terbongkar jua nanti. Yang diperindahkan buat tontonan manusia pula kelak lenyap bak debu berterbangan. Sedang di pandangan ahli dunia menyangka inilah dia ahli ilmu, orang-orang akhirat yang mendahului mereka dalam menyukakan ALLAH. Walhal, kita ini baru berapa tahun sangatlah taubatnya? Baru kelmarin janggut ini dibiarkan tumbuh. Baru kelmarin juga kerap muncul di barisan saf solat. Dimisalkan  di usia kurang lebih 38 tahun  ini, entah sudah berapa banyak dosa terkumpul semenjak akil-baligh sampai sekarang? Dosa demi dosa yang telah ALLAH ﷻ tutup aibnya dari pengetahuan manusia. Pun acuh tak acuh untuk bertaubat dengan keyaqinan bahawa ALLAH itu Maha Pengampun. Sementara meyaqini adanya maghfirah (ampunan), dosa diulang lagi dan lagi. Dosa yang jelas dosanya atau syubhat mengatasnamakan ALLAH Maha Mengetahui niat[7] baik kita agar manifestasi selain cara yang telah diajarkan oleh Nabi ﷺ terungkapkan [8].


Walau bagaimanapun, tiada kita dibiarkan begitu saja tanpa diuji. Datang fitnah (ujian) silih berganti buat menyaring kejujuran kita. Samada hijrah kita tulus-ikhlas kerana ALLAH ﷻ yang dengan itu mudah-mudahan istiqamah. Atau hijrah kerana hendak membeli perhatian yang ternyata kelak akan berwarna-warni penampilannya. Apa yang kita semai semalam pasti akan kita tuai kelak. Wallahul muwaffiq. Jesteru, setiap jiwa akan dipermudahkan ke mana arah ia diciptakan samada kembali ke kampung halaman (jannah) atau ke sejelek-jelek tempat kembali (jahannam). Kepada ALLAH jua kita memohon moga terhitung sebagai insan bahagia. Bermodalkan keterhadan masa yang ada sekarang inilah kita upayakan untuk mempraktiskan amal-amal yang sewajarnya dilaksanakan oleh ahli jannah ketika mereka hidup di dunia. Dari perihal bangkit tidur sehingga kembali dengan tuntunan Nabiyyuna, Muhammad ﷺ .


Oleh itu, maka dengarkanlah rakaman dawrah [9] tersebut agar terukir peringatan yang jelas ke lubuk sanubari kita untuk hidup menjunjung akhirat tanpa mengabaikan tanggungjawab di dunia.

Wallahul muwaffiq.






Sabtu | 20 Rabi' al-Ula 1439H

Sunday 3 December 2017

Mengapa Harus Manhaj Salaf?

Bismillah,



Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf.

Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna:
Sebuah jalan yang terang lagi mudah.
(Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna:
Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. 
(Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234).

Dan dalam terminologi syariat bermakna:
Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in).
(Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah:  
Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. 


Al Imam Adz Dzahabi berkata:
“As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” 
(Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya.

Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal.

Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban).
[Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali].



Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya.

Sedangkan Allah telah berwasiat kepada kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” 
(An Nisa’: 59)



Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” 
(Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata:
“Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” 
(Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” 
(An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata:
“Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’” 
(Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” 
(Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan … akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan … dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali … na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” 
(At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata:
“Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” 
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).

Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ 

Artinya : “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” 
[QS Al Baqoroh: 137]



Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” 
(Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.

Al Imam Asy Syathibi berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”
(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.”  
(Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas):
“Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!”  
(Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini:  
“Mereka adalah Ahlul Hadits.”
(Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata:
“Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” 
(Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“… Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: Golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” 
(Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata:
“Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:

Pertama,
bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.

Kedua,
kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.

Ketiga,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir.
[Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79].


Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.



Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:

1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.

2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.

3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.

4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:

1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata:
“Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” 
(Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).

2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata:
“Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” 
(Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).

3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata:
“Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).”
(Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).

4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata:
“Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” 
(Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)

5. Al-Imam As Syathibi berkata:
“Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” 
(Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).

6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” 
(Majmu’ Fatawa, 4/149).

Beliau juga berkata:
“Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” 
(Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.


Ditulis oleh : Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi al-Atsari, Lc
Disalin dari : Majalah AsySyariah Edisi 4 |
http://asysyariah.com/mengapa-harus-manhaj-salaf/
Lain-lain murjaah : 
Majalah AsySyariah Edisi 4

Friday 30 June 2017

Di Mana Pendirianmu Berlabuh? (1)

Bismillah,



Fikir agama di kalangan orang awwam adalah satu anugerah yang sangat mahal. Yakni berupa kecondongan hati untuk memilih kehidupan di alam akhirat yang kekal-abadi. Ke mana saja hatinya dihadapkan, sering agama dikedepankan sebagai timbang-tara. Tanpa mengira status sosialnya samada apakah ia seorang doktor, perekabentuk, akauntan, jurutera, penyelia, pelajar waima penganggur hatta gelandangan sekalipun. Walhamdulillah, beruntunglah orang-orang yang memanfaatkan nikmat-nikmat media sosial buat membantunya ke arah 'fikir agama' tersebut. Adapun soal pro-kontra di antara berita palsu dengan yang asli terhidang bersama sudah tentunya ada. Hanya ALLAH ﷻ jua yang Maha Mengetahui lagi Maha Berkehendak kepada siapa yang perlu dikurniakan-NYA atau ditahan petunjuk daripadanya. Mudah-mudahan kita termasuklah golongan yang direzeqikan nikmat fikir agama ini [1]. Punya kehendak dan semangat untuk fikir agama ini.


MENOLEH NOSTALGIA
Walhamdulillah, lembaran sejarah banyak menghidangkan kita pedoman untuk menyuluh masa depan. Masyaa-ALLAH wa tabaarakallah. Lihatlah, alangkah beruntungnya mereka penghuni generasi emas Islam yang pertama, iaitu para Shahabat radhiyallahu'anhum ajmain. Tumbuh dalam asuhan fikir agama yang murni lagi asli. Terang-benderang hati mereka disuluh dengan ilmu, langsung dari Nabi junjungan mulia ﷺ. Demikian pula kejernihan aqal mereka yang terlihat apabila mencermati sesuatu peristiwa agar terus dapat meniti di atas jalan yang dipusakai oleh sebaik-baik manusia, Muhammad ﷺ. Cinta dan benci mereka teruntuk kerana ALLAH dan Rasul semata. Lantaran itu terzhahirlah sempadan pemisah antara manusia kepada 2 kelompok. Samada seseorang itu meniti ia di atas jambatan al-haq (kaum mu'minin) atau al-bathil (kaum musyrikin dan munafiqin). Seumpama benang putih dan hitam,  jelas tiada lagi kesamaran yang tinggal. Kerana setiap syubhat yang datang, bi'idznillah, dibongkar habis oleh Nabiyyuna Muhammad ﷺ.


Seterusnya yang datang setelah mereka, adalah generasi kedua di qurun emas Islam (zaman para Tabiin), kemudian disusuli generasi yang ketiga (zaman Tabiut Tabiin). Ketiga-tiga generasi ini mendapat pengiktirafan dalam berittiba' as-sunnah (mengikuti sunnah). Namun, zaman mulai mendung dek awan-awan fitnah, tidak seperti qurun pertama sebelumnya yang terang-benderang disuluhi matahari ilmu. Pada waktu ini, fikir agama kian dinodai  pemahaman menyimpang berikutan kemunculan kelompok-kelompok ekstrim seperti Khawarij[2], Syiah[3], Qadariah[4] dan Murjiah[5].  Contohnya, fikir agama lahir melalui pemberontakan terhadap penguasa dan ketaksuban kepada individu tertentu. Selain itu, termasuklah juga tragedi kecanduan khamr dan senandung kaum Shufi[6] (nasyid) seperti yang pernah diingkari Al-Imam Muhammad[7] bin Idris asy-Syaffi rahimahullah. Diikuti pada zamannya Al-Imam Ahmad[8] bin Hanbal rahimahullah dalam menghadapi porak-porandanya penafsiran Al-Qur'an sebagai  hikayat atau makhluq (bukan kalamullah) berserta lain-lain kejahatan kaum Jahmiyyah[9] dan Mu'tazilah[10]. Fikir agama kita bagaimana?


Fitnah Syiah
Keadaan ummat lebih parah dek jenayah syariat songsang buatan kaum  Syiah. Zina 'halal' atas nama nikah mut'ah (kontrak), ritual penyembahan terhadap Ahlul Bait (yang telah mereka sendiri tumpahkan darahnya), melukai tubuh sendiri di bulan Muharram, mencela Para Shahabat radhiyallahu'anhum, merendah-rendahkan Jibril alayhissalam, fabrikasi  terhadap Al-Qur'an, menghalalkan darah kaum Muslimin, merencana makar terhadap jamaah haji dan kota suci Makkah,  bahkan tergamak bagi mereka bergelumang merenangi najis para ugamawan mereka sendiri! Beberapa hal[11] yang disinggung ini telah berabad lamanya menjadi al-haq di sisi mereka. Jesteru, dapat dibayangkan kepalang songsang sekali pemikiran majoriti yang lahir di sana pada hari ini. Sebuah negara resmi agama Syiah Rafidhah yang paling terkedepan menaungi gerakan esktremis dan radikal atas nama Islam di seluruh belahan bumi. Walhamdulillah, hanya ALLAH ﷻ jua layak menganjari budi dan jasa ulama' yang giat memperingatkan kita akan kesesatan mereka. Tak terbayangkan keperitan mereka untuk terus kokoh istiqamah memperjuangkan keaslian syariat ini dari terus dicabuli oleh penunggang-penunggang agama seperti kaum Syiah ini.


Fitnah Akhir Zaman
Di hari-hari mendatang, bak potongan malam yang hitam gelap-gelita, gumpalan fitnah nan berkeping-keping itu terus-menerus datang menerpa. Demikian derasnya kejelekan filsafat-filsafat ilmu kalam meresapi ke dalam darah dan nafas masyarakat disarung menjadi pakaian anjakan paradigma (kononnya) dalam beragama. Saat itu, penilaian manusia terhadap salah dan benar terukur pada emosional dan bersifat kontemporari (suara majoriti). Maka, niat amal shaleh yang kelihatan akan menjelaskan melalui tatacaranya bahawa itu semua hanyalah drama yang dikenderai hawa-nafsu. Bukan lagi suatu keanehan apabila seseorang itu menjadi kaafir di siang hari kemudian kembali beriman di waktu malamnya atau sebaliknya. Ala kulli hal, corak keyaqinan ini telah membuahkan al-haq versi baharu serta memperdaya setiap juhalak yang ingin kembali ke jalan yang lurus. Ya, sebagaimana peringatan daripada para Salafush-shaleh, kebathilan itu hanya laris apabila berbalut dengan sedikit kebenaran. Walhasilnya, akan didustakanlah insan-insan jujur  untuk diamanahi orang yang berkhianat. Keterbalikan dari perihal zaman yang dahulunya dihuni sekian ramainya para fuqaha (ugamawan yang  bijaksana) dan sedikit sekali para khutaba' (penglipur lara) kini terserlah. Fahaman 73 kelompok yang berserakan kian galak berkembang-biak. Masing-masing mendakwa merekalah Ahlussunnah wal Jamaah (ASWJ)[12] (juga disebut sebagai Firqatun Naajiyah [13], Ath-Thaifatul Manshurah [14], Ahlul Hadits [15], As-Salafiyyah [16]). Dengan Al-Qur'an dan Hadits yang sama, dengan rukun Islam dan rukun iman juga yang sama tiap kelompok ini turut sama berhujjah namun mengikut kefahaman masing-masing. Wallahul mustaan. Seiring masa, satu daripada 73 kelompok itu yakni ahlul haq (ASWJ) kembali menjadi minoriti[17] sepertimana di zaman awal kegemilangannya.


Baarakallahu feekum. Adapun kita yang lahir di bumi bertuah ini. Sudah tentu kita amat mengagumi nostalgia[18] kegemilangan Islam di qurun emas terawal tadi bukan. Qurun nan jauh jaraknya kurang lebih 1400 tahun yang lalu. Jesteru itu dengan berpanjikan dakwaan yang serupa, kami berfahaman Ahlussunnah wal Jamaah makanya, ayuh kita tanyakan pada diri sendiri.

  1. Tahukah kita akan ciri-ciri / prinsip-prinsip dasar ASWJ dalam rangka memahami rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan?[19] [20]
  2. Bagaimana pula dengan ciri-ciri 72 kelompok sesat yang turut mengajari rukun-rukun tersebut? Kenalkah kita akan mereka? Sedangkan mereka turut mendakwa berpanjikan Al-Qur'an dan Sunnah yang sama. Malah mereka wujud hingg ake hari ini!
  3. Majoriti daripada kita mendakwa bermazhab fiqh Syaf'iyyah, maka bagaimana menyingkapi 3 mazhab fiqh (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah) lainnya pula? Apa benar cukup dengan taqlid buta (semberono ikut-ikutan) untuk selamat dari murka ALLAH lalu masuk ke dalam ridha-NYA? [21]
  4. Dari sudut aqidah, mengapa tidak kita dalami prinsip-prinsip aqidah para Imam Mazhab rahimahumullah? Contohnya aqidah Al-Imam asy-Syafii itu sendiri yang telah dinukilkan oleh muridnya serta pengikutnya, Al-Imam Ismail bin Yahya bin Isma’il al-Muzani atau Al-Imam ar-Razayn rahimahumullah [22]. Apa berseberangankah dengan aqidah guru beliau, Al-Imam Malik atau muridnya, Al-Imam Ahmad? Apa tidak sama menjalani aqidah yang diwariskan oleh Nabiyyuna Muhammad ﷺ melalui para Shahabat radhiyallahu'anhum kepada para Tabi'in, kepada Atba' Tabi'in hingga ulama' seterusnya sampai hari ini?
  5. Ada juga yang mendakwa kaitan aqidah ASWJ dengan Asy'ariyah [23] dan kaum Shufi [24]. Di sini kita ukur di mana timbang-taranya kita untuk menyatakan salah dan benar dakwaan tersebut. Ayuh, sebelum kita menutup mata. Bersegeralah.
  6. Renungkan, sang anak dididik oleh ibunya. Sedang agama sang isteri (ibunya) pula tergantung pada sang suami (ayah), si kepala rumahtangga. Oleh demikian, melalui kita (para suami) diperkenalkan al-haq dan bathil ini kepada mereka. Namun persoalannya, di bangun atas dasar apa? Yakni saya dan anda sebagai suami dan bapa, aqidah yang berdasarkan ilmu mana datangnya telah kita ajari mereka?[25] Cuba lihat wajah isteri-isteri dan anak-anak kalian. Ke manakah hendaknya mereka itu di bawa, nikmat jannah atau adzab jahannam kelak? Baik, dari skala sepetak kecil rumah lalu berkembang kepada struktur sosio budaya yang jauh lebih besar... Apa keberangkalian masyarakat yang ada pada hari ini rata-ratanya berkongsikan jalan fikir agama yang hampir kurang lebih sama?

Wallahul muwaffiq.

...insyaa-ALLAH bersambung.



Rajab 1438H

Nota kaki:
[1] http://asysyariah.com/prinsip-prinsip-mengkaji-agama/
[2] http://bit.ly/KaumKhawarij
[3] http://dalamkembaraini.blogspot.com/2014/01/7-salafi-dari-parsi-bersarat-dendam-i.html
[4] http://asysyariah.com/al-qadariah-majusi-umat-ini/
[5] http://asysyariah.com/kelompok-sesat-murjiah-pendangkal-keimanan-umat/
[6] http://bit.ly/KaumSufi
[7] http://bit.ly/ImamAsySyafii2
[8] http://www.ilmusyari.com/2016/10/imam-ahmad-bin-hambal-rahimahullah.html
[9] https://www.alfawaaid.net/2015/03/kisah-seorang-arab-badui-membantah-jahm_22.html
[10] http://bit.ly/KaumMuktazilah
[11] http://dalamkembaraini.blogspot.com/2014/02/8-salafi-dari-parsi-bersarat-dendam-ii.html
[12] http://asysyariah.com/siapakah-ahlussunnah/
[13] https://www.alfawaaid.net/p/manhaj-salaf.html
[14] http://asysyariah.com/siapakah-ath-thaifah-al-manshurah/
[15] http://asysyariah.com/peran-ulama-hadits-dalam-menjaga-kemurnian-islam/
[16] http://asysyariah.com/mengenal-dakwah-salafiyah/
[17] http://bit.ly/OrangAneh
[18] http://asysyariah.com/rembulan-di-langit-zaman/
[19] http://bit.ly/Prinsip2ASWJ
[20] http://www.alfawaaid.net/2012/06/ushulus-sunnah-imam-ahmad-bin-hanbal_13.html
[21] http://qonitah.com/haruskah-berpegang-pada-mazhab-fikih-tertentu/
[22] https://archive.org/details/KitabAshlusSunnahWaItiqaduddin
[23] http://bit.ly/Asyariyah
[24] http://bit.ly/KaumSufi
[25] http://bit.ly/Prinsip2ASWJ

Friday 2 June 2017

Bagaimana Mengamalkan Kandungan Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah


Para pembaca yang semoga dimuliakan Allah subhanahu wata’ala, sebenarnya ikrar dua kalimat syahadat yang sering kita ucapkan itu tidak cukup sekedar di lisan saja. Namun di dalamnya terdapat beberapa konsekuensi yang harus dipenuhi. Bila seseorang tidak sanggup memenuhi kosekuensi- konsekuensi apa yang telah diikrarkan maka ibarat sebuah pengakuan tanpa bukti. Sehingga sia-sialah (percuma) pengakuannya itu. Bahkan hal itu justru menambah hina bagi dirinya, ia telah mengikrarkan sesuatu yang pada kenyataannya justru amalannya menyelisihi apa yang ia ikrarkan. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah memberikan peringatan kepada kita kaum mukminin yang tidak mau beramal dengan perkara yang telah kita ucapkan dan kita ikrarkan? Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengucapkan apa-apa yang tidak kalian lakukan? Sungguh besar kemurkaan Allah jika kalian mengucapkan perkara-perkara yang kalian sendiri tidak mau mengamalkannya.”
 (Ash Shaff: 2-3)

Kita semua telah tahu bahwa dua kalimat syahadat merupakan kalimat yang mulia yang dengannya akan terbedakan antara muslim dan kafir. Ketika seseorang telah menyatakan Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah maka di antara konsekuensi yang harus dia lakukan adalah dia harus mengikhlaskan dan mempersembahkan seluruh peribadatannya hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Berdo’a[1], istighotsah[2], tawakkal[3], meminta rizki[4], takut[5], menyembelih hewan kurban[6], dan seluruh jenis ibadah[7] lainnya harus dipersembahkan kepada Allah subhanahu wata’ala semata.

Demikian juga dengan syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah, di dalamnya terkandung beberapa konsekuensi yang harus kita perhatikan dan kita amalkan. Dan Insya Allah pada buletin edisi kali ini, bahasan kita lebih terfokus pada kalimat yang kedua dari Asy Syahadatain tersebut. Karena hal ini merupakan perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan kita amalkan.


Dua Pokok Penting

Ketahuilah, wahai saudaraku seislam dan seiman, kalimat syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah (atau dengan redaksi yang lebih lengkap: Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu Wa Rasuluhu) itu terkandung padanya dua pokok penting yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Dua pokok penting itulah yang Allah subhanahu wata’ala ingatkan dalam ayat-Nya (artinya)

“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diberikan wahyu kepadaku bahwa sesungguhnya sesembahan kalian itu adalah sesembahan Yang Esa.”
(Al Kahfi: 110)

Demikian pula Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam juga ingatkan dalam haditsnya. Dari shahabat ‘Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya ….” 
(Muttafaqun ‘Alaihi)

Dari ayat dan hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa dua pokok penting tersebut adalah:

Pokok pertama; bahwa beliau adalah manusia biasa seperti kita. Beliau mengalami apa yang selayaknya dialami pada seorang manusia. Mengalami sakit, luka, haus, lapar dan selainnya dari sifat-sifat manusia. Beliau pun tidak memiliki sifat-sifat ilahiyyah. Beliau mengajarkan kepada para shahabatnya untuk memohon kepada Allah subhanahu wata’ala dari apa yang mereka butuhkan. Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berdo’a sebelum salam pada shalat shubuh dengan do’a: 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا وَرِزْقًا طَيِّبً
Demikian pula ketika datang musim kemarau yang berkepanjangan, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a kepada Allah subhanahu wata’ala supaya diturunkan hujan dan juga pernah shalat istisqa’ bersama para shahabatnya.
Ini semua adalah pengajaran Nabi kepada umatnya bahwa yang berhak dimintai pertolongan itu hanyalah Allah subhanahu wata’ala semata. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu adalah seorang hamba yang menghamba kepada Allah subhanahu wata’ala.

Lalu pantaskah kita meminta rizki, berdo’a, meminta untuk dihilangkan kesulitan kita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan (artinya):

Katakanlah (wahai Muhammad ?): aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”
(Al An’am: 50)


Pokok kedua; bahwa beliau adalah Rasulullah (utusan Allah subhanahu wata’ala). Allah subhanahu wata’ala telah memilih Muhammad bin ‘Abdillah sebagai utusan-Nya. Allah subhanahu wata’ala berhak memilih siapa di antara hamba-Nya yang terpilih untuk menyampaikan risalah dan syari’at-Nya ini kepada umat manusia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”
(Al An’am: 124)

Dalam kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang rasul maka kedudukannya itu tidak boleh disamakan dengan hamba Allah subhanahu wata’ala yang lain. Perintah beliau harus ditaati, nasehat dan petuah beliau harus didengarkan dan diamalkan, sabda-sabda dan kabar yang beliau sampaikan haruslah diterima dan tidak boleh didustakan, karena setiap ucapan yang keluar dari lisan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan wahyu sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

“Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”
(An Najm: 3-4)

Dua pokok inilah yang seyogyanya dipahami oleh setiap muslim sehingga dia tidak terjatuh ke dalam perbuatan Ifrath (berlebihan dalam mengkultuskan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sehingga memposisikan beliau melebihi posisi dan kedudukannya sebagai hamba Allah), dan tidak pula terjatuh ke dalam perbuatan Tafrith (meremehkan dan merendahkan kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang rasul sehingga dia cenderung untuk menolak atau meragukan tentang kebenaran risalah beliau).
Perbuatan seperti inilah yang pernah diperingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah sabdanya:

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ, إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ.
“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku adalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah: (Muhammad adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(HR. Al Bukhari, Muslim)



Konsekuensi yang Harus Diperhatikan
Di antara konsekuensi dari pernyataan Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah adalah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama, yaitu:


1. Mentaati Seluruh Perintahnya
Sudahkah kita berupaya untuk mendengar dan mentaati seluruh nasehat dan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Bukankah Allah subhanahu wata’ala mengutus Rasul-Nya sebagai qudwah (teladan) bagi umatnya? Meneladani prilaku dan akhlaknya, mengikuti petunjuknya, mematuhi perintahnya, dan menelusuri jejak dan sunnahnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah.”
(An Nisa’: 64)

“Dan apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepadamu, maka ambillah (laksanakanlah) …”
(Al Hasyr: 7)

Demikian pula sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:

وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
“Dan setiap apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian.”
(Muttafaqun ‘Alaihi)

Inilah bukti kasih sayang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu kepada mereka melainkan perintah itu dibatasi dengan kemampuan yang mereka miliki.
Tetapi, tahukah anda bahwa siapa saja dari umat beliau yang berupaya untuk mengikuti dan mentaati Nabinya dengan ikhlas, maka sungguh dia akan mendapatkan sekian banyak keutamaan yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya ??

Bukankah anda ingin untuk mendapatkan kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala? Kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala itu hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang mau mengikuti dan mentaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah pasti akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.”
(Ali ‘Imran: 31)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Setiap umatku akan masuk Al Jannah (surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya: Siapa orang yang enggan itu wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau bersabda: Barangsiapa yang mentaatiku, dia akan masuk Al Jannah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah enggan.” 
 (HR. Al Bukhari)


2. Membenarkan Seluruh Berita yang Disampaikan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
Sudahkah kita membenarkan seluruh berita yang disampaikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Pernahkah terbetik di benak kita perasaan ragu akan berita yang disampaikan beliau ??

Pembaca yang semoga Allah subhanahu wata’ala memuliakan kita, jangan ada sedikitpun perasaan ragu apalagi sampai mengingkari berita-berita yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena tidaklah beliau bersabda melainkan itu merupakan sebuah wahyu yang Allah subhanahu wata’ala wahyukan kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam . Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”
(An Najm: 3-4)

Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Ash Shadiqul Mashduq (yang jujur dan bisa dipercaya), setiap kabar dan berita yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, baik kabar tentang kejadian umat terdahulu maupun kejadian yang dialami Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri seperti Isra’ dan Mi’raj, dan juga kejadian yang akan datang seperti akan datangnya hari kiamat, akan adanya hari pembalasan, dan yang lainnya, maka wajib bagi kaum mukminin untuk membenarkan dan mengimaninya.

Pantaskah bagi seorang muslim untuk meragukan dan apalagi mendustakan segala berita dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, padahal beliau pernah bersabda:

أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ؟ يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً.
“Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit (Allah)? Senantiasa datang kepadaku kabar dari langit pagi dan petang.”
(Muttafaqun ‘Alaihi)


3. Menjauhi Semua Larangannya
Sudahkah kita meninggalkan dan menjauhi setiap perkara yang dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Berapa banyak peringatan dan larangan dari beliau shalallahu ‘alaihi wasallam yang kita langgar dan kita selisihi? Pertanyaan ini hendaknya menjadi renungan bagi kita semua karena sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan dalam Al Qur’an (artinya):
“… dan apa yang dilarangnya (Rasulullah), maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)
Demikian pula sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam :

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ
“Setiap yang aku larang bagi kalian, maka jauhilah …” 
(Muttafaqun ‘Alaihi)

Para pembaca yang semoga Allah memberikan hidayah kepada kita, kalau masihkah ada di antara kita yang menyelisihi apa-apa yang dilarang oleh junjungan kita shalallahu ‘alaihi wasallam , maka hendaknya segera bertaubat dan beristighfar sebelum ajal menjemputnya. Rahmat Allah itu luas, pintu taubat masih terbuka lebar-lebar. Padahal Allah subhanahu wata’ala itu benar-benar mencintai hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat kepada-Nya. Karena dikhawatirkan kalau sekiranya kita menyelisihi dan melanggar sabda Rasul-Nya, Allah akan menurunkan adzab-Nya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) takut akan ditimpa fitnah (bencana) dan adzab yang pedih.”
(An Nur: 63)


4. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala Sesuai dengan Tuntunan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
Sudahkah ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan beliau ?? Sudahkah amal ibadah yang kita lakukan sesuai dengan bimbingan beliau ?? Tentunya kita khawatir akan terjerumus ke dalam apa yang pernah diingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan tersebut tertolak.” 
(HR. Muslim)




Wahai saudaraku yang mulia, seyogyanya bagi kita semua selalu berupaya untuk menyesuaikan segala amal ibadah kita dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena tujuan utama diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ke muka bumi ini adalah dalam rangka mengajari umat manusia bagaimana cara ibadah yang benar kepada Allah subhanahu wata’ala. Itulah hikmah kenapa syahadat Muhammadar Rasulullah diletakkan syahadat Laa Ilaaha Illallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mencontoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Amien, ya Rabbal ‘alamin.



Disalin daripada:

Lain-lain murajaah:

Monday 1 May 2017

Dawrah Malaysia Rajab 1438H

Bismillah,




Begitu pantasnya masa berlalu. Seperti baru kelmarin semua ini berlaku. 

Terkenang saat duduk bermajlis bersama ikhwanuna Salafiyyin yang hadir dari pelbagai penjuru negeri. Terpapar keterujaan masing-masing dalam menantikan sesi pertama yang bakal berlangsung pada esok harinya iaitu 25 Rajab (22 April, Sabtu) di Masjid Muhammad Khan, Pulau Pinang. Seakan terlupa akan kelelahan bersafar dari Pahang menuju ke Georgetown, Pulau Pinang. Perjalanan yang kurang lebih 8 jam merentas 3 negeri iaitu Selangor, Perak dan Kedah. Walhamdulillah, hanya DIA jua yang layak mengganjari pihak panitia dengan kebaikan tak terhitung yang bertungkus-lumus menyediakan tempat menginap serta lain-lain sarana sepanjang dawrah berlangsung.




Tiba saat dawrah, wallahul mustaan, berat mata memandang, berat lagi besi-besi di gim bahkan berat lagi mata yang mengantuk dibuai terik cuaca 35°c! Kami bersesak-sesak di ruang utama masjid. Bagaimanapun tetap tak terbandingkan dengan keperitan cabaran salafushshaleh (para pendahulu yang baik) rahimahumullah dalam meraih ilmu ini. Adapun, walhamdulillah, nikmat kesihatan kurniaan-NYA dimanfaatkan dengan penuh bersemangat oleh Ustadzuna Qomar Su'aidi hafizhahullah. Bukan sekadar pembahasan 1 kitab seperti yang diiklankan di poster dawrah yakni Al-Ikhalas wan Niyah(musnad) karya Al-Hafiz Ibnu Abi Ad-Dunya (wafat sekitar 281 Hijriah). Malah disusuli pula kitab Kalimatil Ikhlas karya Al-Imam Ibn Rajab Al-Hanbali (wafat sekitar 795 Hijriah), rahimahamallah. Demikianlah masa yang singkat ini dimanfaatkan sebaik mungkin. Jesteru ringkasnya, kitab-kitab tersebut sarat dengan fakta. Tak perlu kalam puitis nan mendayu-dayu atau garapan novel perahan akal untuk merekayasa khayalan citra dan lara. Semuanya mengedepankan dalil, kalamullah wa kalamurrasul. Juga paparan kisah benar para salafushshaleh buat menjadi dorongan. Wallahul muwaffiq.



Alangkah bagusnya jika rakaman dawrah ini turut dapat dimanfaatkan oleh insan-insan yang tak dapat hadir, namun turut sedang bermujahadah dalam memperbaiki jiwanya. Akan dipelajari apakah definisi sebenarnya al-ikhlas yang menjadi syarat pertama diterima amal zhahir dan bathin kita selama ini. Dan bagaimana pula dengan skrip tipikal orang yang mudah menuturkan, 'aku ikhlas berbuat itu dan ini'? Ala kulli hal, intinya adalah soal segumpal daging yang bernama qalb (*hati) yang telah disinggung dari hadits Nabi ﷺ mengenainya. Hati yang dipandang ALLAH ﷻ lebih utama daripada rupa-paras dan harta kita. Kerana dengan lurusnya hati yang bersemayam laksana raja ini maka luruslah para tenteranya pula yakni lisan dan perbuatan. Ya, semoga ALLAH ﷻ melindungi  kita daripada memiliki 2 wajah(karakter) dan 2 lisan walhasil hati yang fajir punya penyakit nifaq, ameen. Percayalah, dengan mendengar rakaman ini sedikit-sebanyak kelak akan memberi pedoman kepada kita. Agar lebih bersemangat nanti untuk mengupayakan kualiti terbaik pada setiap amal infirad (sendirian) dan ijtima'i (berkumpulan) kita sesuai pada kadar, tempat serta masanya. Lalu menyingkirlah sedikit demi sedikit pula akan setiap penyakit hati yang mencemar. Tiadalah lagi kepayahan hidup untuk bermuka-muka kerana ingin menyukakan manusia demi puja dan puji (pengiktirafan) mereka. Bukan juga demi penyakit narsisis yakni mabuk dengan kemahsyuran, mau didengari, menunjuk-nunjuk dan rasa takjub pada diri sendiri. Malah bukan demi membeli kesempitan dunia dengan keluasan akhirat. Yang menjadi kesimpulan nanti ialah upaya menempatkan diri ke dalam ruang lingkup definisi ikhlas itu tadi. Wallahu a'lam.


Semoga bermanfaat.



Isnin | 03 Sya'ban 1438H

*Yang benar adalah jantung kerana hati disebut kabid. Adapun penggunaan kalimat hati adalah menurut budaya masyarakat setempat bukan pengisyaratan bahasa sebenar.