Tuesday 19 December 2017

Dawrah Malaysia Muharram 1439H

Bismillah,



Alhamdulillah. Dawrah kali ini sepertimana yang sudah-sudah, berjalan dengan lancar sekali. Hanyasanya ALLAH ﷻ jua yang layak mengganjari dengan sebanyak-banyaknya kebaikan di atas mujahadahnya barisan panitia dalam menjayakan dawrah ini.


Berikut adalah maklumat asas bagi dawrah tersebut:
Lokasi : Masjid Khan Muhammad, Geogertown, Pulau Pinang
Waktu : Sabtu & Ahad, 23-24 Al-Muharram 1439H ~ 14-15 Oktober 2017M
Pemateri : Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman hafizhahullah
Tajuk : Di Mana Tempat Akhir Kita

 



Mungkin saja orang banyak dapat menduga isi kandungan dawrah tersebut. Tentu sekali tentang targhib wa tarhib (dorongan dan ancaman) dalam menjalani kehidupan di dunia yang seketika ini menuju akhirat yang kekal-abadi. Ya, kenikmatan jannah dan kesengsaraan jahannam yang sudah kerap kita dengar sejak dahulu lagi. Namun bukanlah soal berapa banyak dalilnya, baik yang benar atau sekadar bualan mulut ke mulut turun-temurun yang hendak ditekankan di sini. Hanyasanya persoalannya yang lebih lanjut adalah sejauh mana kesungguhan, kehendak diri untuk memenuhi kriteria agar tercalon sebagai penghuni jannah kelak? Baarakallahu feekum. Adapun hal ini bukanlah mencari titik cacat untuk menuding jari ke depan bahkan terhadap diri sendiri adanya. Dalam memerhati manusia datang dan pergi. Dan dalam menilik diri sesudah itu. 


ILMU FAKTA ATAU INFORMASI AUTA
Demikianlah yakni soalnya hati. Hati ini yang sejauh mana sudah berkira-kira jujur bagi memperbaiki kualiti ilmu sebelum memperbanyakkan kuantiti amal. Ya, kita faham nilai mahalnya biaya pendidikan hari ini. Demikian tercatat di dada sejarah akan mujahadah ulama' terdahulu dalam menuntut ilmu syar'i. Dengan dunia di hujung jari, kita sudah mampu membaca kisah-kisah mereka tanpa perlu merentas daratan dan gelombang lautan waima membelah awan sekalipun. Maka bacalah. Ya jika biaya pendidikan  itu mahal, inikan pula sebuah ketidakpedulian yakni meninggalkan keutamaan ilmu. Bahkan lebih mahal. Tanpa ilmu, terlihatlah sikap kebencian terhadap sesuatu yang di luar pemahaman diri  sendiri. Tanpa ilmu maka terbinalah cinta dan benci di atas dasar fanatisme. Mendengar pada apa yang hendak didengari saja. Ya, melihat juga begitu. Walhasil ketidakpedulian ini digambarkan melalui sikap sombong yakni menolak kebenaran yang datang dan meremehkan manusia yang membawanya. Wallahul mustaan. Adapun pada hari ini, ketidakpedulian tersebut dapat dirasai melalui etika pemberitaan semberono lalu disokong padu oleh narsisis-narsisis semisalnya. Bukankah dari grup sebelah adalah jawapan yang kerap diterima semenjak diajukan pertanyaan sumber pemberitaan-'copy&paste'-nya[1]?


Jadi, seandainya pada setiap 1000 insan itu hanya seorang saja yang layak memasuki jannah, di manakah kita berdiri? Yang seorang atau salah seorang dari 999 itu? Masing-masing boleh menjawab sendiri. Semoga ALLAH ﷻ merahmati orang tahu kadar dirinya. Tahu apa yang ditampakkan pada zhahir dan apa pula yang disembunyikan.. 


KAU KAN TUAI APA YANG KAU TANAM
Melihatkan ahli dunia yang mempamer-pamerkan kereta idaman yang dimiliki melalui hutang ribawi. Lalu dipertontonkan kehidupan peribadi siap bersama kemewahan harta serta fesyen-fesyen tabarruj[2] dan tasyabbuh[3] terkini. Tak hairanlah apabila jatidiri sebagai Muslim yang kagum[4] dengan gaya hidup Yahudi dan Nasrani itu meluntur. Pun begitu, tetap mereka masih meyaqini hal tersebut tak setara dengan nikmatnya jannah yang lebih luas daripada dunia dan seisinya. Malangnya, keyaqinan ini disia-siakan kerana sudah asyik-masyuk dengan buaian janji-janji manis dunia!  Kerakusan, tamak-haloba dan hasad[5] dibangkitkan melalui jalan ditakut-takutkan akan kemiskinan, kurangnya penghasilan, kehilangan manusia sekitar, kebuluran dan pelbagai ujian yang pasti ada kemudahan sesudah itu. Wallahul muwaffiq. Ya, masakan orang yaqin dengan janji-janji ALLAH ﷻ akan tertuang  siang dan malamnya ke atas kerja-kerja dunia, fikir dunia dan muzakarah dunia hatta agama pun diduniakan dalil-dalilnya. Dengan sederet angan-angan, kononnya, melalui kemewahan dunia inilah mereka dapat memperbanyak kuantiti amal.  Dapat bersedekah, berwakaf dan semisal. Seolah-olah agama ini teruntuk buat orang kaya yang dapat dibeli sebanyaknya pahala dengan duit ringgit. Wal'iyadzubillah. Demikian ahli dunia datang dan pergi. Sayang sekali hidup hanya menjadi teladan keji. Di usia senja tampak solat masih lagi sumbang. Di usia senja ini juga baru hendak belajar mengaji (qiraat) sedang pegangan aqidah masih lesu kerana berpaut pada arus bualan semasa. Kasihan, perbualan seharian pun masih mengedepankan pengalaman dan bermegah-megahan dengan tuntunan bangsa penjajah. Apa yang sebenarnya mereka kejarkan dalam hidup ini? Yahdina wa yahdikumullah.



MUSANG BERJANGGUT
Bagaimanapun ada yang lebih ngeri daripada mereka (ahli dunia). Siapa? Kitalah, siapa lagi. Yang berjanggut, berjubah dan berperwatakan agamis ini. Dengan kurang dari setitik ilmu di lautan, kita angkuh merendah-rendahkan manusia jahil seperti ahli dunia tadi. Seolah-olah mereka adalah manusia yang tiada layak dikurniakan hidayah dan taufiq dari ALLAH ﷻ. Di lain masa, kita tampil berpencak di media sosial layaknya seorang syaikh bersenjatakan kacau-bilau maklumat. Kita debati ulama' Rabbani, meremeh-meremehkan orang bodoh dan tampil sebelum masanya. Kononnya kitalah yang terbaik qiraatul Qur'annya, yang paling tekun bersedekah-jariah dan yang terkedepan mempertahankan Islam[6]. Kita terleka, yang terlarang kita lakukan sembunyi-sembunyi kelak terbongkar jua nanti. Yang diperindahkan buat tontonan manusia pula kelak lenyap bak debu berterbangan. Sedang di pandangan ahli dunia menyangka inilah dia ahli ilmu, orang-orang akhirat yang mendahului mereka dalam menyukakan ALLAH. Walhal, kita ini baru berapa tahun sangatlah taubatnya? Baru kelmarin janggut ini dibiarkan tumbuh. Baru kelmarin juga kerap muncul di barisan saf solat. Dimisalkan  di usia kurang lebih 38 tahun  ini, entah sudah berapa banyak dosa terkumpul semenjak akil-baligh sampai sekarang? Dosa demi dosa yang telah ALLAH ﷻ tutup aibnya dari pengetahuan manusia. Pun acuh tak acuh untuk bertaubat dengan keyaqinan bahawa ALLAH itu Maha Pengampun. Sementara meyaqini adanya maghfirah (ampunan), dosa diulang lagi dan lagi. Dosa yang jelas dosanya atau syubhat mengatasnamakan ALLAH Maha Mengetahui niat[7] baik kita agar manifestasi selain cara yang telah diajarkan oleh Nabi ﷺ terungkapkan [8].


Walau bagaimanapun, tiada kita dibiarkan begitu saja tanpa diuji. Datang fitnah (ujian) silih berganti buat menyaring kejujuran kita. Samada hijrah kita tulus-ikhlas kerana ALLAH ﷻ yang dengan itu mudah-mudahan istiqamah. Atau hijrah kerana hendak membeli perhatian yang ternyata kelak akan berwarna-warni penampilannya. Apa yang kita semai semalam pasti akan kita tuai kelak. Wallahul muwaffiq. Jesteru, setiap jiwa akan dipermudahkan ke mana arah ia diciptakan samada kembali ke kampung halaman (jannah) atau ke sejelek-jelek tempat kembali (jahannam). Kepada ALLAH jua kita memohon moga terhitung sebagai insan bahagia. Bermodalkan keterhadan masa yang ada sekarang inilah kita upayakan untuk mempraktiskan amal-amal yang sewajarnya dilaksanakan oleh ahli jannah ketika mereka hidup di dunia. Dari perihal bangkit tidur sehingga kembali dengan tuntunan Nabiyyuna, Muhammad ﷺ .


Oleh itu, maka dengarkanlah rakaman dawrah [9] tersebut agar terukir peringatan yang jelas ke lubuk sanubari kita untuk hidup menjunjung akhirat tanpa mengabaikan tanggungjawab di dunia.

Wallahul muwaffiq.






Sabtu | 20 Rabi' al-Ula 1439H

Sunday 3 December 2017

Mengapa Harus Manhaj Salaf?

Bismillah,



Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf.

Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna:
Sebuah jalan yang terang lagi mudah.
(Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna:
Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. 
(Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234).

Dan dalam terminologi syariat bermakna:
Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in).
(Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah:  
Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. 


Al Imam Adz Dzahabi berkata:
“As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” 
(Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya.

Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal.

Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban).
[Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali].



Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya.

Sedangkan Allah telah berwasiat kepada kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” 
(An Nisa’: 59)



Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” 
(Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata:
“Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” 
(Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” 
(An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata:
“Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’” 
(Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” 
(Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan … akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan … dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali … na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” 
(At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata:
“Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” 
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).

Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ 

Artinya : “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” 
[QS Al Baqoroh: 137]



Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” 
(Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.

Al Imam Asy Syathibi berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”
(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.”  
(Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas):
“Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!”  
(Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini:  
“Mereka adalah Ahlul Hadits.”
(Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata:
“Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” 
(Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“… Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: Golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” 
(Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata:
“Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:

Pertama,
bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.

Kedua,
kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.

Ketiga,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir.
[Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79].


Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.



Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:

1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.

2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.

3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.

4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:

1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata:
“Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” 
(Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).

2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata:
“Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” 
(Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).

3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata:
“Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).”
(Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).

4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata:
“Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” 
(Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)

5. Al-Imam As Syathibi berkata:
“Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” 
(Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).

6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” 
(Majmu’ Fatawa, 4/149).

Beliau juga berkata:
“Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” 
(Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.


Ditulis oleh : Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi al-Atsari, Lc
Disalin dari : Majalah AsySyariah Edisi 4 |
http://asysyariah.com/mengapa-harus-manhaj-salaf/
Lain-lain murjaah : 
Majalah AsySyariah Edisi 4