Para pembaca yang semoga dimuliakan Allah subhanahu wata’ala,
sebenarnya ikrar dua kalimat syahadat yang sering kita ucapkan
itu tidak cukup sekedar di lisan saja. Namun di
dalamnya terdapat beberapa konsekuensi yang harus
dipenuhi. Bila seseorang tidak sanggup memenuhi
kosekuensi- konsekuensi apa yang telah diikrarkan maka
ibarat sebuah pengakuan tanpa bukti. Sehingga sia-sialah
(percuma) pengakuannya itu. Bahkan hal itu justru menambah hina
bagi dirinya, ia telah mengikrarkan sesuatu yang pada
kenyataannya justru amalannya menyelisihi apa yang ia
ikrarkan. Bukankah Allah
subhanahu wata’ala telah memberikan peringatan kepada kita kaum
mukminin yang tidak mau beramal dengan perkara yang telah kita
ucapkan dan kita ikrarkan? Allah subhanahu wata’ala
berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengucapkan
apa-apa yang tidak kalian lakukan? Sungguh besar kemurkaan Allah
jika kalian mengucapkan perkara-perkara yang kalian
sendiri tidak mau mengamalkannya.”
(Ash Shaff: 2-3)
Kita semua telah tahu bahwa dua kalimat syahadat merupakan kalimat
yang mulia yang dengannya akan terbedakan antara muslim dan
kafir. Ketika seseorang telah menyatakan Asyhadu Allaa
Ilaaha Illallah maka di antara konsekuensi yang harus
dia lakukan adalah dia harus mengikhlaskan dan
mempersembahkan seluruh peribadatannya hanya kepada
Allah subhanahu wata’ala. Berdo’a[1], istighotsah[2], tawakkal[3],
meminta rizki[4], takut[5], menyembelih hewan kurban[6], dan seluruh jenis
ibadah[7] lainnya harus dipersembahkan kepada Allah subhanahu
wata’ala semata.
Demikian juga dengan syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah,
di dalamnya terkandung beberapa konsekuensi yang harus kita
perhatikan dan kita amalkan. Dan Insya Allah pada
buletin edisi kali ini, bahasan kita lebih terfokus
pada kalimat yang kedua dari Asy Syahadatain tersebut.
Karena hal ini merupakan perkara yang sangat penting
untuk kita ketahui dan kita amalkan.
Dua Pokok Penting
Ketahuilah, wahai saudaraku seislam dan seiman, kalimat syahadat
Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah (atau dengan redaksi yang
lebih lengkap: Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu Wa
Rasuluhu) itu terkandung padanya dua pokok penting yang
tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Dua
pokok penting itulah yang Allah subhanahu wata’ala
ingatkan dalam ayat-Nya (artinya)
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku ini manusia
biasa seperti kalian, yang diberikan wahyu kepadaku bahwa
sesungguhnya sesembahan kalian itu adalah sesembahan
Yang Esa.”
(Al Kahfi: 110)
Demikian pula Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam juga ingatkan
dalam haditsnya. Dari shahabat ‘Ubadah bin Ash Shamit
radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ …
“Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan
yang benar kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya
dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya ….”
(Muttafaqun ‘Alaihi)
Dari ayat dan hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa dua pokok penting tersebut adalah:
Pokok pertama; bahwa beliau adalah manusia biasa
seperti kita. Beliau mengalami apa yang selayaknya dialami
pada seorang manusia. Mengalami sakit, luka, haus,
lapar dan selainnya dari sifat-sifat manusia. Beliau
pun tidak memiliki sifat-sifat ilahiyyah. Beliau
mengajarkan kepada para shahabatnya untuk memohon
kepada Allah subhanahu wata’ala dari apa yang mereka butuhkan.
Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam berdo’a sebelum salam pada shalat
shubuh dengan do’a:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا وَرِزْقًا طَيِّبً
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا وَرِزْقًا طَيِّبً
Demikian pula ketika datang musim kemarau yang berkepanjangan,
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a kepada Allah
subhanahu wata’ala supaya diturunkan hujan dan juga
pernah shalat istisqa’ bersama para shahabatnya.
Ini semua adalah pengajaran Nabi kepada umatnya bahwa yang berhak
dimintai pertolongan itu hanyalah Allah subhanahu wata’ala
semata. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu adalah
seorang hamba yang menghamba kepada Allah subhanahu
wata’ala.
Lalu pantaskah kita meminta rizki, berdo’a, meminta untuk dihilangkan
kesulitan kita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah
menegaskan (artinya):
Katakanlah (wahai Muhammad ?): aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”
(Al
An’am: 50)
Pokok kedua; bahwa beliau adalah Rasulullah
(utusan Allah subhanahu wata’ala). Allah subhanahu wata’ala
telah memilih Muhammad bin ‘Abdillah sebagai
utusan-Nya. Allah subhanahu wata’ala berhak memilih
siapa di antara hamba-Nya yang terpilih untuk
menyampaikan risalah dan syari’at-Nya ini kepada umat manusia.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”
(Al An’am: 124)
Dalam kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang
rasul maka kedudukannya itu tidak boleh disamakan dengan
hamba Allah subhanahu wata’ala yang lain. Perintah
beliau harus ditaati, nasehat dan petuah beliau harus
didengarkan dan diamalkan, sabda-sabda dan kabar yang
beliau sampaikan haruslah diterima dan tidak boleh
didustakan, karena setiap ucapan yang keluar dari lisan beliau
shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan wahyu sebagaimana firman
Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan tidaklah yang
diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan.”
(An Najm: 3-4)
Dua pokok inilah yang seyogyanya dipahami oleh setiap muslim
sehingga dia tidak terjatuh ke dalam perbuatan Ifrath
(berlebihan dalam mengkultuskan beliau shalallahu
‘alaihi wasallam sehingga memposisikan beliau melebihi
posisi dan kedudukannya sebagai hamba Allah), dan tidak
pula terjatuh ke dalam perbuatan Tafrith (meremehkan
dan merendahkan kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai
seorang rasul sehingga dia cenderung untuk menolak atau
meragukan tentang kebenaran risalah beliau).
Perbuatan seperti inilah yang pernah diperingatkan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah sabdanya:
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ, إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ.
“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana
orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam,
sesungguhnya aku adalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah:
(Muhammad adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(HR. Al
Bukhari, Muslim)
Konsekuensi yang Harus Diperhatikan
Di antara konsekuensi dari pernyataan Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah
adalah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama,
yaitu:
1. Mentaati Seluruh Perintahnya
Sudahkah kita berupaya untuk mendengar dan mentaati seluruh nasehat
dan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Bukankah
Allah subhanahu wata’ala mengutus Rasul-Nya sebagai
qudwah (teladan) bagi umatnya? Meneladani prilaku dan
akhlaknya, mengikuti petunjuknya, mematuhi perintahnya,
dan menelusuri jejak dan sunnahnya. Allah subhanahu
wata’ala berfirman (artinya):
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah.”
(An Nisa’: 64)
“Dan apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepadamu, maka ambillah (laksanakanlah) …”
(Al Hasyr: 7)
Demikian pula sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
“Dan setiap apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian.”
(Muttafaqun ‘Alaihi)
Inilah bukti kasih sayang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam kepada
umatnya. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu kepada
mereka melainkan perintah itu dibatasi dengan kemampuan
yang mereka miliki.
Tetapi, tahukah anda bahwa siapa saja dari umat beliau yang berupaya
untuk mengikuti dan mentaati Nabinya dengan ikhlas, maka
sungguh dia akan mendapatkan sekian banyak keutamaan
yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wata’ala dan
Rasul-Nya ??
Bukankah anda ingin untuk mendapatkan kecintaan dari Allah subhanahu
wata’ala? Kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala itu
hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang mau
mengikuti dan mentaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Katakanlah
(wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka
ikutilah aku, niscaya Allah pasti akan mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosa kalian.”
(Ali ‘Imran: 31)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap umatku akan masuk Al Jannah (surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya: Siapa orang yang enggan itu wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau bersabda: Barangsiapa yang mentaatiku, dia akan masuk Al Jannah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah enggan.”
(HR. Al Bukhari)
2. Membenarkan Seluruh Berita yang Disampaikan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
Sudahkah kita membenarkan seluruh berita yang disampaikan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam? Pernahkah terbetik di benak
kita perasaan ragu akan berita yang disampaikan beliau
??
Pembaca yang semoga Allah subhanahu wata’ala memuliakan kita,
jangan ada sedikitpun perasaan ragu apalagi sampai mengingkari
berita-berita yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam. Karena tidaklah beliau bersabda melainkan itu
merupakan sebuah wahyu yang Allah subhanahu wata’ala
wahyukan kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam .
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan.”
(An Najm: 3-4)
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Ash Shadiqul Mashduq
(yang jujur dan bisa dipercaya), setiap kabar dan berita yang
disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
baik kabar tentang kejadian umat terdahulu maupun
kejadian yang dialami Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam sendiri seperti Isra’ dan Mi’raj, dan juga
kejadian yang akan datang seperti akan datangnya hari
kiamat, akan adanya hari pembalasan, dan yang lainnya, maka
wajib bagi kaum mukminin untuk membenarkan dan mengimaninya.
Pantaskah bagi seorang muslim untuk meragukan dan apalagi mendustakan
segala berita dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
padahal beliau pernah bersabda:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ؟ يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً.
“Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah kepercayaan
Dzat yang ada di langit (Allah)? Senantiasa datang kepadaku
kabar dari langit pagi dan petang.”
(Muttafaqun
‘Alaihi)
3. Menjauhi Semua Larangannya
Sudahkah kita meninggalkan dan menjauhi setiap perkara yang dilarang
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Berapa banyak
peringatan dan larangan dari beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam yang kita langgar dan kita selisihi?
Pertanyaan ini hendaknya menjadi renungan bagi kita
semua karena sungguh Allah subhanahu wata’ala telah
menegaskan dalam Al Qur’an (artinya):
“… dan apa yang dilarangnya (Rasulullah), maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)
Demikian pula sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ …
“Setiap yang aku larang bagi kalian, maka jauhilah …”
(Muttafaqun ‘Alaihi)
Para pembaca yang semoga Allah memberikan hidayah kepada kita,
kalau masihkah ada di antara kita yang menyelisihi apa-apa yang
dilarang oleh junjungan kita shalallahu ‘alaihi
wasallam , maka hendaknya segera bertaubat dan
beristighfar sebelum ajal menjemputnya. Rahmat Allah
itu luas, pintu taubat masih terbuka lebar-lebar.
Padahal Allah subhanahu wata’ala itu benar-benar mencintai
hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat kepada-Nya. Karena
dikhawatirkan kalau sekiranya kita menyelisihi dan
melanggar sabda Rasul-Nya, Allah akan menurunkan
adzab-Nya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya
(Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) takut akan ditimpa fitnah
(bencana) dan adzab yang pedih.”
(An Nur: 63)
4. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala Sesuai dengan Tuntunan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
Sudahkah ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan beliau
?? Sudahkah amal ibadah yang kita lakukan sesuai dengan
bimbingan beliau ?? Tentunya kita khawatir akan
terjerumus ke dalam apa yang pernah diingatkan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak
pernah kami tuntunkan, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR.
Muslim)
Wahai saudaraku yang mulia, seyogyanya bagi kita semua selalu
berupaya untuk menyesuaikan segala amal ibadah kita dengan
tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena
tujuan utama diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam ke muka bumi ini adalah dalam rangka mengajari
umat manusia bagaimana cara ibadah yang benar kepada
Allah subhanahu wata’ala. Itulah hikmah kenapa syahadat
Muhammadar Rasulullah diletakkan syahadat Laa Ilaaha Illallah.
Semoga kita dimudahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk
mencontoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam
setiap amal ibadah yang kita lakukan. Amien, ya Rabbal
‘alamin.
Disalin daripada:
Lain-lain murajaah: