Suatu ketika, Nurcholis Madjid pernah melontarkan
gagasan untuk memaknai kalimat Laa ilaha
illallah dengan ‘tidak ada tuhan selain Tuhan’. Sumbang idea itu membuat geger muslimin Indonesia. Betapa
tidak. Dengan ideanya itu, dia telah memasukkan orang-orang kafir yang percaya
dengan keberadaan Tuhan sebagai seorang muslim. Ini hanya satu contoh dari
berbagai gagasan kontroversial para pemuja akal di Indonesia. Mereka
tak lebih dari para pengekor ajaran Mu’tazilah, yang sudah muncul di masa
al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah.
Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah
(Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105—110 H, tepatnya di masa
pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Khalifah Hisyam bin Abdul
Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah, mantan
murid al-Hasan al-Bashri rahimahullah yang bernama Washil bin Atha’
al-Makhzumi al-Ghazzal. Ia lahir di kota Madinah pada 80 H dan mati pada 131 H.
Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang pemuka Qadariyah kota Bashrah)
setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari
takdir dan sifat-sifat ALLAH subhanahu wa ta’ala.
(Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib
bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam an-Nubala, karya adz-Dzahabi,
5/464—465, dan al-Milal wan-Nihal, karya asy-Syihristani hlm. 46—48)
Seiring dengan beredarnya
waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak pecahannya. Sampai akhirnya para
pemuka mereka mendalami
buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah al- Makmun. Sejak saat
itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan
as-Sunnah, –pen.).
(al-Milal wan-Nihal, hlm. 29)
Oleh kerana
itu, tidaklah aneh apabila kaidah nombor
satu mereka berbunyi,
“Akal lebih
didahulukan daripada syariat (al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’, –pen.)
dan akallah sebagai kata pemutus dalam
segala hal. Apabila syariat bertentangan dengan akal—menurut persangkaan
mereka—, sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.”
(Lihat kata pengantar kitab al-Intishar fir
Raddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyah al-Asyrar, 1/65)
Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna orang-orang
yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak dapat dipisahkan dengan sosok
al-Hasan al-Bashri rahimahullah, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani rahimahullah berkata, (suatu hari) datanglah
seorang laki-laki kepada al-Hasan al-Bashri rahimahullah seraya berkata,
“Wahai imam dalam agama, telah muncul di
zaman kita ini kelompok yang mengafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa
syirik). Dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan
pelakunya dari agama. Mereka adalah kaum Khawarij. Adapun kelompok yang lainnya
sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa
tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam mazhab mereka, suatu
amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap
keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka
adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar
kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan al-Bashri pun berpikir sejenak dalam
permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya
Washil bin Atha’ berseloroh, “Menurutku
pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir. Ia berada
pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.”
Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu
tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid
al-Hasan al-Bashri lainnya. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah lantas
berkata,
اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلُ
“Washil telah memisahkan diri
dari kita.” Disebutlah
dia dan para pengikutnya dengan Mu’tazilah.
(al-Milal wan-Nihal hlm. 47—48 )
Pertanyaan
itu pun akhirnya dijawab oleh al-Hasan al-Bashri dengan jawaban Ahlus Sunnah
wal Jamaah, “Sesungguhnya pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya.
Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin. Karena dosa besarnya, ia disebut
fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).”
(Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq adh-Dhallah,
karya asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 42)
Asas dan Landasan Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu
dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnyalah prinsip-prinsip mereka
dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan al-Ushulul Khamsah (lima
landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut.
Landasan Pertama: At-Tauhid
Yang mereka maksud dengan at-Tauhid adalah
mengingkari dan meniadakan sifat-sifat ALLAH subhanahu wa ta’ala, dengan
dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk
masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada ALLAH subhanahu wa
ta’ala, menurut mereka.
(Firaq Mu’ashirah, 2/832)
Oleh karena itu, mereka menamakan diri dengan ahlut
tauhid atau al–Munazihuuna lillah (orang-orang yang
menyucikan ALLAH subhanahu wa ta’ala).
Bantahan:
- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil sam’i, ALLAH subhanahu wa ta’ala menyifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal DIA Dzat Yang Maha Esa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ بَطۡشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ
١٢ إِنَّهُۥ هُوَ يُبۡدِئُ وَيُعِيدُ ١٣ وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلۡوَدُودُ
١٤ ذُو ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡمَجِيدُ ١٥ فَعَّالٞ لِّمَا يُرِيدُ ١٦
“Sesungguhnya azab Rabbmu sangat
dahsyat. Sesungguhnya DIA-lah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan
menghidupkannya (kembali), DIA-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang
mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-NYA.”
(al-Buruj: 12—16)
سَبِّحِ ٱسۡمَ رَبِّكَ ٱلۡأَعۡلَى
١ ٱلَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ ٢ وَٱلَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ ٣ وَٱلَّذِيٓ
أَخۡرَجَ ٱلۡمَرۡعَىٰ ٤ فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحۡوَىٰ ٥
“Sucikanlah
Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan
(penciptaan-NYA), Yang Menentukan takdir (untuk masing-masing) dan Memberi
Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering
kehitam-hitaman.”
(al-A’la: 1—5)
Adapun dalil ‘aqli, sifat-sifat
itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati. Jadi, ketika sifat-sifat
tersebut ditetapkan, tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu,
bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati
tersebut. Segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat….”
(al-Qawa’idul Mutsla, hlm. 10—11)
- Menetapkan sifat-sifat ALLAH subhanahu wa ta’ala tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk bukanlah bentuk kesyirikan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata dalam ar-Risalah al-Hamawiyah, “Menetapkan sifat-sifat ALLAH subhanahu
wa ta’ala tidak termasuk meniadakan kesucian ALLAH subhanahu wa ta’ala, tidak pula
menyelisihi tauhid, atau menyamakan ALLAH subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-NYA.”
Bahkan, hal ini termasuk konsekuensi dari tauhid
al-asma wash-shifat. Adapun yang meniadakannya, jesteru merekalah orang-orang
yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Sebab, sebelum meniadakan sifat-sifat ALLAH
subhanahu wa ta’ala tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan
sifat-sifat ALLAH subhanahu wa ta’ala dengan sifat makhluk-NYA. Lebih
dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat ALLAH subhanahu wa ta’ala
yang sempurna itu, sungguh mereka telah menyamakan ALLAH subhanahu wa ta’ala
dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Sebab, tidak
mungkin sesuatu itu ada tanpa mempunyai sifat sama sekali.
Oleh kerana
itu, Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki
mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada
wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab at-Tadmuriyyah, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. 79—81)
Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan
Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Landasan kedua: al-‘Adl (keadilan)
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan
bahwasanya kebaikan itu datang dari ALLAH subhanahu wa ta’ala, sedangkan
kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) ALLAH subhanahu
wa ta’ala. Dalilnya adalah firman ALLAH subhanahu wa ta’ala,
وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَسَادَ
٢٠٥
“Dan ALLAH tidak suka terhadap
kerusakan.”
(al-Baqarah: 205)
وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ
ٱلۡكُفۡرَۖ
“Dan DIA tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-NYA.”
(az-Zumar:
7)
Menurut mereka, kesukaan dan keinginan adalah
kesatuan yang tidak boleh
dipisahkan. Dengan demikian, mustahil bila ALLAH subhanahu wa ta’ala
tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan
terjadinya (menakdirkannya). Oleh kerana
itu, mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau al-‘Adliyyah.
Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair al-‘Imrani rahimahullah
berkata, “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya
adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ
لَا يُحِبُّ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٣٢
“Maka sesungguhnya ALLAH tidak menyukai orang-orang kafir.”
(Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa ALLAH subhanahu wa
ta’ala lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan DIA-lah
yang menciptakan mereka.
(al-Intishar
Firraddi ‘ala
al-Mu’tazilatil-Qadariyyah al-Asyrar,
1/315)
Lebih-lebih lagi ALLAH subhanahu wa ta’ala
telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas
dari kehendak dan ciptaan-NYA. ALLAH subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن
يَشَآءَ ٱللَّهُۚ
“Dan kalian tidak akan mampu
menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki ALLAH.”
(al-Insan: 30)
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا
تَعۡمَلُونَ ٩٦
“Padahal ALLAH-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat.”
(ash-Shaffat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu
mereka jadikan sebagai kedok untuk mengingkari kehendak ALLAH subhanahu wa
ta’ala yang merupakan bagian dari takdir ALLAH subhanahu wa ta’ala.
Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah,
dan orang-orang yang zalim.
Landasan Ketiga: Al-Wa’du wal Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa
wajib bagi ALLAH subhanahu wa ta’ala untuk memenuhi janji-NYA (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-NYA (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam an-Nar, kekal abadi di
dalamnya, dan tidak boleh bagi ALLAH subhanahu wa ta’ala untuk
menyelisihinya. Kerana inilah
mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Bantahan:
- Seseorang yang beramal saleh (sekecil apa pun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُخۡلِفُ
ٱلۡمِيعَادَ ٩
“Sesungguhnya ALLAH tidak akan menyelisihi janji(NYA).”
(Ali ‘Imran: 9)
Bahkan, ALLAH subhanahu wa ta’ala mewajibkan
bagi diri-NYA sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-NYA. Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari ALLAH
subhanahu wa ta’ala kerana
dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu,
maka sesuai dengan kehendak ALLAH subhanahu wa ta’ala. DIA Maha Berhak
untuk melaksanakan ancaman-NYA dan Maha Berhak pula untuk tidak
melaksanakannya, kerana DIA telah
menyifati diri-NYA dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن
يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ
“Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum
bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-NYA.”
(an-Nisa: 48)
(Diringkas dari kitab al-Intishar Firraddi ‘Alal
Mu’tazilatil Qadariyyah al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan)
- Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di an-Nar, maka sangat bertentangan dengan firman ALLAH subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu khabar gembira, bahawasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala nescaya akan masuk ke dalam al-jannah.”
Aku (Abu Dzar) berkata, “Walaupun berzina dan mencuri?”
Beliau menjawab, “Walaupun berzina dan mencuri.”
(HR.
al-Bukhari dan Muslim dari
Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu)
Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
Yang mereka maksud adalah bahwasanya keimanan itu
satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa
besar (walaupun di bawah syirik), maka telah keluar dari keimanan, namun tidak
kafir (di dunia). Ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara
keimanan dan kekafiran).
Bantahan:
- Keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا
“Dan jika dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-NYA, maka bertambahlah keimanan mereka.”
(al-Anfal: 2)
Juga firman-NYA,
وَإِذَا مَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٞ
فَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمۡ زَادَتۡهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنٗاۚ فَأَمَّا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ ١٢٤ وَأَمَّا
ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَتۡهُمۡ رِجۡسًا إِلَىٰ رِجۡسِهِمۡ
وَمَاتُواْ وَهُمۡ كَٰفِرُونَ ١٢٥
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara
mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang
bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang
beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.
Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka
ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping
kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.”
(at-Taubah: 124—125)
Dan firman-NYA,
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ
ٱلسَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَٰنٗا مَّعَ
إِيمَٰنِهِمۡۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمٗا ٤
“DIA-lah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan ALLAH -lah tentara langit dan bumi dan adalah ALLAH Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(al-Fath: 4)
وَمَا جَعَلۡنَآ أَصۡحَٰبَ
ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةٗۖ وَمَا جَعَلۡنَا عِدَّتَهُمۡ إِلَّا فِتۡنَةٗ
لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ لِيَسۡتَيۡقِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ وَيَزۡدَادَ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنٗا وَلَا يَرۡتَابَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَلِيَقُولَ ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ وَٱلۡكَٰفِرُونَ
مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلٗاۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ ٱللَّهُ مَن
يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَمَا يَعۡلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَۚ
وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكۡرَىٰ لِلۡبَشَرِ ٣١
Dan tiada KAMI jadikan penjaga
neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah KAMI menjadikan bilangan
mereka itu melainkan sebagai cubaan bagi orang-orang kafir, supaya
orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin, supaya orang yang beriman
bertambah imannya, supaya orang-orang yang diberi al-Kitab dan orang-orang
mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada
penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), “Apakah yang dikehendaki ALLAH
dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?”
Demikianlah ALLAH menyesatkan
orang-orang yang dikehendaki-NYA dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-NYA. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan DIA
sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.
(al-Muddatstsir: 31)
ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ
ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ
إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ ١٧٣
“(Iaitu) orang-orang (yang
menaati ALLAH dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan,
‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena
itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan
mereka menjawab, ‘Cukuplah ALLAH menjadi Penolong kami dan
ALLAH adalah sebaikbaik
Pelindung’.”
(Ali ‘Imran: 173)
وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِۧمُ رَبِّ
أَرِنِي كَيۡفَ تُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰۖ قَالَ أَوَ لَمۡ تُؤۡمِنۖ قَالَ بَلَىٰ
وَلَٰكِن لِّيَطۡمَئِنَّ قَلۡبِيۖ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang mati.”
ALLAH berfirman, “Belum yakinkah
kamu?”
Ibrahim menjawab, “Aku telah
meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)….”
(al-Baqarah: 260)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Keimanan itu (mempunyai) enam
puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan
‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari
jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.”
(HR.
al-Bukhari dan Muslim, dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
- Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak.
Ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, kerana ALLAH subhanahu wa
ta’ala masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini
termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam
firman-NYA,
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ
“Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang yang beriman saling berperang, maka damaikanlah antara keduanya….”
(al-Hujurat: 9)
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya
memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Bantahan:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim
merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
ALLAH subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah ALLAH dan taatilah Rasul-Nya,
dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.”
(an-Nisa: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Akan datang setelahku para
pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan
sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.”
(Hudzaifah radhiallahu ‘anhu berkata),
“Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku menjumpai mereka?”
Beliau menjawab, “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun
punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.”
(HR.
Muslim, dari sahabat Hudzaifah
bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu). Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah
edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa.
Sesatkah Mu’tazilah?
Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan
bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti
tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip
sesat lainnya yang mereka punyai seperti:
- Mendahulukan akal daripada al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama.
- Mengingkari azab kubur, syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya ALLAH subhanahu wa ta’ala) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya al-Jannah dan an-Naar (saat ini), turunnya ALLAH subhanahu wa ta’ala ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
- Hukum mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan sahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Kita sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-nar.
- Meniadakan sifat-sifat ALLAH subhanahu wa ta’ala, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka menakwil sifat Kalam (berbicara) bagi ALLAH subhanahu wa ta’ala dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa al-Qur’an itu makhluk, bukan kalamullah. Demikian pula mereka menakwil sifat Istiwaa’ ALLAH subhanahu wa ta’ala dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi ALLAH subhanahu
wa ta’ala merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan
dan Istilaa’ bagi ALLAH subhanahu wa ta’ala?!
(Lihat kitab al-Intishar Firraddi
Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah al-Asyrar, al-Milal wan Nihal,
al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh al-Qashidah an-Nuniyyah,
dan ash-Shawa’iq al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)
Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan
kelompok pemuja akal ini. Oleh kerana
itu, al-Imam Abul-Hasan al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah)
setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari
Jum’at untuk mengumumkan bara’ (berlepas diri) dari mazhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya
mengatakan,
“Aku lepas dari mazhab
Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.”
Ketika Allah subhanahu wa ta’ala beri
karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka
beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya
dengan judul al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah.
(Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah,
hlm. 44—45)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Terjemahan ke bahasa Malaysia dengan pantauan al-Ustadz Qomar Su'aidi hafizhahullah.