Monday 22 September 2014

PERMATA SALAF

"PENGARUH ORANG TUA TERHADAP ANAK"
 
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya—belahan hatinya—di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.”
(Tuhfatul Maudud hlm. 351)
 
Beliau rahimahullah menyatakan pula,
“Mayoritas anak menjadi rusak dengan sebab yang bersumber dari orang tua, dan tidak adanya perhatian mereka terhadap si anak, tidak adanya pendidikan tentang berbagai kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Orang tua telah menyia-nyiakan anak selagi mereka masih kecil, sehingga anak tidak bisa memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya ketika sudah lanjut usia. Ketika sebagian orang tua mencela anak karena kedurhakaannya, si anak menjawab, ‘Wahai ayah, engkau dahulu telah durhaka kepadaku saat aku kecil, maka aku sekarang mendurhakaimu ketika engkau telah lanjut usia. Engkau dahulu telah menyia-nyiakanku sebagai anak, maka sekarang aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau telah berusia lanjut’.”
(Tuhfatul Maudud hlm. 337)
 (Diambil dari Huququl Aulad ‘alal Aba’ wal Ummahat hlm. 8—9, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari hafizhahullah)
 
 
 
 
"MENGINGAT EMPAT KENGERIAN"
 
Hatim al-Asham rahimahullah mengatakan,
“Siapa yang kalbunya tidak pernah mengingat empat kengerian ini, berarti dia adalah orang yang teperdaya dan tidak aman dari kecelakaan.
(1) Saat yaumul mitsaq (hari saat diambilnya perjanjian terhadap ruh manusia) ketika Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ‘Mereka di surga dan Aku tidak peduli, sedangkan mereka (yang lain) di neraka dan Aku tidak peduli’; dia tidak tahu, dirinya termasuk golongan yang mana.
(2) Saat dia diciptakan dalam tiga kegelapan (di dalam rahim), ketika malaikat diseru (untuk mencatat) kebahagiaan atau kesengsaraan (seseorang); dia tidak tahu apakah dirinya termasuk orang yang sengsara atau bahagia.
(3) Hari ditampakkannya amalan (saat sakaratul maut); dia tidak tahu, apakah dia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah Subhanahu wata’ala atau kemurkaan- Nya.
(4) Hari ketika manusia dibangkitkan dalam keadaan yang berbeda-beda; dia tidak tahu jalan mana yang akan ia tempuh di antara dua jalan yang ada.”
(Jami’ al-‘Ulum wal Hikam hlm. 81)
 
 

"DUNIA AKAN BERLALU, AKHERAT AKAN MENYONSONG"
 
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata dalam salah satu khutbahnya,
“Sesungguhnya, dunia bukanlah negeri keabadian kalian. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menetapkan kefanaannya. Dia Subhanahu wa ta’ala  juga menetapkan bahwa penghuninya akan meninggalkannya. Betapa banyak tempat yang makmur dan dicatat oleh sejarah, hancur dalam waktu sekejap. Betapa banyak orang yang tinggal dalam keadaan senang, tiba-tiba harus beranjak pergi. Karena itu, siapkanlah sarana terbaik yang ada pada kalian sekarang—semoga Allah Subhanahu wa ta’alamerahmati kalian—untuk menempuh perjalanan (kelak). Siapkanlah bekal, dan bekal terbaik adalah takwa.”
 
Sebagian ahli hikmah mengatakan,
Aku heran terhadap manusia yang akan ditinggalkan oleh dunia dan akan disongsong oleh akhirat—, ia justru sibuk dengan hal yang akan meninggalkannya dan lalai dari sesuatu yang akan menyongsongnya.”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 516)
 
 
 
 
"KEHIDUPAN DUNIA MENURUT GENERASI SALAF"
 
Al-Hasan al-Bashri rahimahumallah mengatakan,
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari harta dengan cara yang baik, membelanjakannya dengan sederhana, dan memberikan sisanya. Arahkanlah sisa harta ini sesuai dengan yang diarahkan oleh Allah. Letakkanlah di tempat yang diperintahkan oleh Allah. Sungguh, generasi sebelum kalian mengambil dunia sebatas yang mereka perlukan. Adapun yang lebih dari itu, mereka mendahulukan orang lain. Ketahuilah, sesungguhnya kematian amat dekat dengan dunia hingga memperlihatkan berbagai keburukannya. Demi Allah, tidak seorang berakal pun yang merasa senang di dunia. Karena itu, berhati-hatilah kalian dari jalan-jalan yang bercabang ini, yang muaranya adalah kesesatan dan janjinya adalah neraka. Aku menjumpai sekumpulan orang dari generasi awal umat ini. Apabila malam telah menurunkan tirai kegelapannya, mereka berdiri, lalu (bersujud) menghamparkan wajah mereka. Air mata mereka berlinangan di pipi. Mereka bermunajat kepada Maula(yakni Rabb) mereka agar memerdekakan hamba-Nya (dari neraka).  Apabila melakukan amal saleh, mereka gembira dan memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut. Sebaliknya, apabila melakukan kejelekan, mereka bersedih dan memohon kepada Allah agar mengampuni kesalahan tersebut.”
(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 41—42)
 
 
 

"MENJAUHI PERDEBATAN DALAM HAL AGAMA"
 
Ma’n bin Isa berkata,
“Suatu hari, (al-Imam) Malik bin Anas rahimahullah keluar dari masjid dalam keadaan  bersandar pada tanganku. Ada seorang lelaki -yang dipanggil Abul Huriyah, yang tertuduh berpemahaman Murji’ah- menyusulnya dan mengatakan,
“Wahai hamba Allah, dengarkanlah sesuatu yang akan aku sampaikan kepadamu. Aku akan beradu hujah denganmu dan memberitahumu tentang pemikiranku.”
Al-Imam Malik rahimahullah bertanya,
“Bagaimana jika engkau mengalahkanku (dalam perdebatan)?”
Dia menjawab,
“Kalau aku mengalahkanmu, engkau harus mengikuti pemikiranku.”
Al-Imam Malik rahimahullah bertanya lagi,
“Kalau ada orang lain yang kemudian mendebat lantas mengalahkan kita?”
Dia menjawab,
“Kita ikuti dia.”
Al-Imam Malik rahimahullah menukas,
يَا عَبْدَ اللهِ، بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا بِدِيْنٍ وَاحِدٍ، وَأَرَاكَ تَنْتَقِلُ مِنْ دِيْنٍ إِلَى دِينٍ
“Wahai hamba Allah, Allah Subhanahu wata’ala mengutus Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan satu agama. Namun, aku lihat engkau berpindah dari satu agama ke agama yang lain.”
(asy-Syari’ah, al-Ajurri, hlm. 62)
(Catatan kaki al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilatil Manahij al-Jadidah hlm. 78, cet. Maktabah al-Huda al-Muhammadi)
 
 
 
 
BERLOMBA DALAM KEBAIKAN
Al-Hasan al-Bashri rahimahumallah mengatakan,
“Wahai anak Adam, jika engkau melihat manusia berada dalam sebuah kebaikan, saingilah mereka. Namun, jika engkau melihatnya berada padasebuah kebinasaan, janganlah engkau menyaingi mereka dan pilihan mereka.”
 
“Sungguh, kami telah melihat beberapa kaum lebih memilih bagian mereka yang disegerakan (di dunia) daripada yang diakhirkan (di akhirat). Akhirnya, mereka menjadi hina, binasa, dan terkenal (keburukannya).”
 
Beliau mengatakan rahimahumallah pula,
“Barang siapa yang berlomba denganmu dalam hal agama, saingilah dia. Adapun orang yang menyaingimu dalam hal duniamu, lemparkanlah urusan dunia itu ke lehernya.”
 
Beliau mengatakan rahimahumallah pula,
“Apabila engkau melihat manusia menyaingimu dalam hal dunia, saingilah mereka dalam hal akhirat. Sungguh, dunia mereka akan hilang dan akhirat akan kekal.”
(Mawa’izh al-Imam al-Hasan al-Bashri, hlm. 57—58)
 
 
 
 
"KEADAAN SEORANG MUKMIN"
 
Al-Hasan al-Bashri rahimahumallah mengatakan,
“Manusia terdiri dari tiga golongan: mukmin, kafir, dan munafik. Orang mukmin, Allah Subhanahu wata’ala memperlakukan mereka sesuai dengan ketaatannya. Orang kafir, Allah Subhanahu wata’ala telah menghinakan mereka sebagaimana kalian lihat. Adapun orang munafik, mereka ada di sini, bersama kita di rumah-rumah, jalan-jalan, dan pasar-pasar. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala. Demi Allah, mereka tidak mengenal Rabb mereka. Hitunglah amalan jelek mereka sebagai bentuk ingkar mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sungguh, tidaklah seorang mukmin memasuki waktu pagi melainkan dalam keadaan cemas, meski telah berbuat baik. Tidak pantas baginya selain demikian. Ia pun memasuki waktu sore dalam keadaan khawatir, meski telah berbuat baik. Sebab, dia berada di antara dua kekhawatiran:
Dosa yang telah berlalu; dia tidak tahu apa yang akan Allah Subhanahu wata’ala lakukan terhadap dosanya (apakah diampuni atau tetap dibalasi dengan azab, -red.).
Ajal yang tersisa (dalam hidupnya); dia tidak tahu kebinasaan apa saja yang akan menimpanya pada masa yang akan datang.”
(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 57—58)